Assalamualaikun,..warahmatullahi Wabarakatuhu,..
Alhamdulillah Hirobbil'alamin, puji syukur kita limpahkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat iman sehingga kita tetep menjalankan perintahnya, menjahui larangannya serta tekun dalam ajaran Islam dan nikmat sehat sehingga kita bisa bermuwajaha' dalam keadaan sehat' wal'afiat,..
Solawat beserta salam tetap kita limpahkan kepada Junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari jaman gelap gulita menjadi jaman terang benerang yang kita rasakan saat ini, dan mudah-mudahan kita dan keluarga kita diberi syafaatnya besok di yaumul akhir, amin.
para alim ulama' yang selalu kita taati fatwanya
para ustad ustadah yang kami hormati
sahabat-sahabat Ansor Banser yang berbahagia,...
Alhamdulillah sudah satu tahun lebih kita melaksanakan agenda rutinan setiap bulan sekali yakni tanggal 1 malam 2 yang alhamdulilllah telah terlaksana dan terdapat kemajuan-kemajuan, yakni ada beberapa agenda dalam pertemuan :
1. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mars Ansor dan Mars Banser
2. Pembacaan surah yasin dan tahlil
3. Siraman rohani dari alim Ulama'
4. Doa
5. Penutup
6. Lain - Lain
dalam beberapa agenda tersebut biasanya Ansor Banser sekarputih kerap dihadiri dari ketuan dan pengurus PAC Widodaren malah-malah dihadiri dari Ketuan dan Pengurus Ranting Kabupaten Ngawi. dengan adanya kehadiran beliau - beliau sahabat kerkumpulan rutin kita akan menjadi lebih hikmad dan menjadi suatu perkumpulan yang lebih maju dan mudah mudahan Ansor Banser Ranting Sekarputih menjadi satu satunya ranting yang Nomer saru di wilayah PAC Widodaren Amien,...
sedikit paparan dari kami selaku sekretaris Ansor Bnaser Ranting Sekarputih apabila ada kalimat yang kurang pahan dan menyinggung kami mohon maaf yang sebesar besarnya besar harapan kami kritik yang membangun untuk kemajuan bloger BANSER SEKARPUTIH.
terimakasi akhiru kalam wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu,..
Senin, 18 November 2013
MACAM MACAM SYIRIK
MACAM-MACAM SYIRIK
Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu Mas’ud meriwayatkan, aku bertanya kepada Nabi , “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab: “Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Alloh Ta’ala sedangkan Dialah yang menciptakanmu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
MACAM-MACAM SYIRIK BESAR
1. SYIRIK DALAM BERDOA
Yaitu berdo’a kepada selain Alloh Ta’ala, baik kepada para Nabi atau wali, untuk meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit. Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Alloh Ta’ala; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (Yunus: 106)
Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan Rosulullah menegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa meninggal dunia sedang dia memohon kepada selain Alloh Ta’ala sebagai tandingan/sekutu, niscaya dia masuk neraka.” (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa berdo’a kepada selain Alloh Ta’ala, baik kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir merupakan perbuatan syirik. Adalah firman Alloh Ta’ala:
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Alloh Ta’ala tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Faathir : 13-14).
2. SYIRIK DALAM SIFAT ALLOH TA’ALA
Seperti kepercayaan bahwa para Nabi dan wali mengetahui hal-hal yang ghaib. Tidak ada satu makhlukpun yang mengetehui perkara yang ghaib kecuali Alloh bila kita menemukan ada orang yang mengetahui hal-hal yang ghaib maka janganlah kita percaya karna itu adalah tipu daya dari syaiton meskipun orang itu disebut wali, kiai, ustadz, dll. Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan pada sisi Alloh Ta’ala lah kunci-kunci semua yang ghoib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’aam: 59).
3. SYIRIK DALAM MAHABBAH (CINTA)
Yang dimaksud syirik dalam mahabbah yaitu ia mencintai seseorang baik wali atau lainnya sebagaimana kecintaannya kepada Alloh Ta’ala. Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh Ta’ala, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Alloh Ta’ala. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Alloh Ta’ala.” (Al-Baqarah: 165).
4. SYIRIK DALAM KETA’ATAN
Yaitu keta’atan kepada ulama atau syaikh dalam hal kemaksiatan. Dengan mempercayai bahwa hal tersebut diperbolehkan. Alloh Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Alloh Ta’ala.” (At-aubah: 31).
Ta’at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan yaitu dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Alloh Ta’ala. Atau sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan Alloh Ta’ala. Ta’at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan inilah yang ditafsirkan sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Rosulullah menegaskan:
“Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khalik (Alloh Ta’ala).” (HR. Ahmad, hadits shohih).
5. SYIRIK HULUL
Yaitu mempercayai bahwa Alloh Ta’ala menitis kepada para makhluk-Nya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi, seorang shufi yang meninggal dunia di Damaskus. Sampai-sampai Ibnu Arabi mengatakan:
“Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah Tuhan. Duhai sekiranya, siapakah yang mukallaf?” Seorang penyair shufi lainnya yang mempercayai aqidah hulul bersenandung: “Tiada anjing dan babi itu, melainkan Tuhan kita (juga). Dan tiadalah Alloh Ta’ala itu, melainkan seorang rahib yang ada di gereja.”
6. SYIRIK TASHARRUF (Tindakan)
Yaitu keyakinan bahwa sebagian para wali memiliki keleluasaan untuk bertindak dalam urusan makhluk. Percaya bahwa mereka bisa mengatur persoalan-persoalan makhluk. Mereka namakan para wali itu dengan “wali quthub”. Padahal Alloh Ta’ala telah menanyakan orang-orang musyrik terdahulu dengan firman-Nya:
“Dan siapakah yang mengatur egala urusan? Maka mereka menjawab, ‘Alloh Ta’ala.” (Yunus: 31).
7. SYIRIK KHAUF (Takut)
Yaitu keyakinan bahwa sebagian dari para wali yang telah meninggal dunia atau orang-orang yang ghaib bisa melakukan dan mengatur suatu urusan serta mendatangkan mudharat (bahaya). Karena keyakinan ini, mereka menjadi takut kepada para wali atau orang-orang tersebut.
Karena itu, kita menjumpai sebagian manusia berani bersumpah bohong atas nama Alloh Ta’ala, tapi tidak berani berumpah bohong atas nama wali, karena takut kepada wali tersebut. Hal ini adalah kepercayaan orang-orang musyrik, yang diperingatkan dalam Al-Qur’an dalam firman-Nya:
“Bukankah Alloh Ta’ala cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Alloh Ta’ala.” (Az-Zumar: 26).
Adapun takut kepada hewan liar atau kepada orang hidup yang zhalim, maka hal itu tidak termasuk dalam syirik ini. Itu adalah ketakutan yang merupakan fitrah dan tabiat manusia, dan tidak termasuk syirik.
SYIRIK BESAR BISA MENGHAPUSKAN AMAL
Alloh Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65).
SYIRIK BESAR TIDAK AKAN DIAMPUNI OLEH ALLOH TA’ALA KECUALI DENGAN TAUBAT DAN MENINGGALKAN PERBUATAN SYIRIK SECARA KESELURUHAN
Alloh Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Alloh Ta’ala tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Alloh Ta’ala, maka sesuangguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’: 116).
SYIRIK BANYAK MACAMNYA
Diantaranya adalah syirik besar dan syirik kecil. Semua itu wajib dijauhi. Rosulullah mengajarkan kepada kita agar berdo’a: “Ya Alloh Ta’ala, kami berlindung kepadaMu dari menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepadaMu dari (menyekutukanMu dengan sesuatu) yang kami tidak ketahui.” (HR. Ahmad dengan sanad shohih).
Jumat, 01 November 2013
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Pada saat sekarang ternyata masih ada orang yang belum faham apa itu ahlus sunnah wal jama'ah (ASWAJA) dan bagaimana ahlus sunnah wal jama'ah (ASWAJA).
Kalau membahas secara mendetail apa dan bagaimana itu Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) memang sangat panjang dan untuk menulisnya membutuhkan banyak waktu,karna itu saya mencoba mencari tulisan mengenai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di beberapa Situs Blogger Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan akhirnya saya menemukannya.
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus .
* Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah.
Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli.
Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah.
secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya
Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi :
عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku.
Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin.
Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll.
III. Definisi Bid’ah
Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini. Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an :
" وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35
Dan Hadits Nabi yang berbunyi:
عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ".
Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak.
HR. Bukhari dan Muslim
Kalimat أحدث dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT.
Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits :
وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة " وكل ضلالة في النار"
Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” .
Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll.
Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai :
مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah.
Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll.
Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu :
1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at.
2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu.
4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an.
5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll.
IV. Kriteria penggolongan Bid’ah
Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini .
1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah.
3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah
Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata :
" ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ "
“ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “
1. Ziarah kubur.
Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah :
عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي
“ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi
Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits:
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،}
Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni
2.Tawassul.
Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
QS: Al Maidah : 35
Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ).
Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا"
" Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban )
3. Tabarruk ( Mencari Berkah )
Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31
" Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31
"رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73
" Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait !
Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT.
Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248
عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري
" Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori
Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi".
Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil.
4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati
Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat.
Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan :
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري
Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari.
VI. Sekilas Pembaharuan Agama
Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
1. Faham Ibnu Taimiyah
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i.
Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah " Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an".
Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih :
* Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat
* Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu )
* Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi.
2. Faham Wahabi
Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan saudaranya ( Syeh Sulaiman ).
Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya.
* Poin-poin dasar faham wahabiyah
Pada saat sekarang ternyata masih ada orang yang belum faham apa itu ahlus sunnah wal jama'ah (ASWAJA) dan bagaimana ahlus sunnah wal jama'ah (ASWAJA).
Kalau membahas secara mendetail apa dan bagaimana itu Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) memang sangat panjang dan untuk menulisnya membutuhkan banyak waktu,karna itu saya mencoba mencari tulisan mengenai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di beberapa Situs Blogger Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan akhirnya saya menemukannya.
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus .
* Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah.
Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli.
Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah.
secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya
Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi :
عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku.
Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin.
Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll.
III. Definisi Bid’ah
Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini. Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an :
" وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35
Dan Hadits Nabi yang berbunyi:
عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ".
Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak.
HR. Bukhari dan Muslim
Kalimat أحدث dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT.
Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits :
وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة " وكل ضلالة في النار"
Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” .
Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll.
Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai :
مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah.
Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll.
Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu :
1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at.
2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu.
4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an.
5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll.
IV. Kriteria penggolongan Bid’ah
Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini .
1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah.
3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah
Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata :
" ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ "
“ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “
1. Ziarah kubur.
Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah :
عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي
“ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi
Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits:
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،}
Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni
2.Tawassul.
Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
QS: Al Maidah : 35
Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ).
Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا"
" Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban )
3. Tabarruk ( Mencari Berkah )
Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31
" Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31
"رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73
" Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait !
Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT.
Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248
عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري
" Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori
Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi".
Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil.
4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati
Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat.
Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan :
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري
Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari.
VI. Sekilas Pembaharuan Agama
Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
1. Faham Ibnu Taimiyah
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i.
Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah " Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an".
Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih :
* Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat
* Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu )
* Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi.
2. Faham Wahabi
Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan saudaranya ( Syeh Sulaiman ).
Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya.
* Poin-poin dasar faham wahabiyah
Minggu, 14 Juli 2013
KHASIAT SURAT AL IKHLAS
Beberapa manfaat membaca Surat Al-Ikhlas :
- Membaca surat al-ikhlas dapat membuat hati tenang dan damai.
- Barang siapa membaa surat al-ikhlas, akan mendapat pahala sebagaimana orang-orang yang beriman pada malaikat, rasul dan kitab Allah.
- Barang siapa membaca surat al-ikhlas sebanyak 1 kali, pahalanya sama dengan membaca al-qur’an sebanyak 10 juz, maka jika dibaca 3 kali pahalanya sama dengan 30 juz (khatam al-qur’an).
- Siapa yang membaca surat al-ikhlas sebanyak 10 kali setiap selesai salat subuh, maka ia akan dijaga dari perbuatan dosa selama sehari tersebut.
- Barangsiapa membaca surat al-ikhlas sebelas kali, akan disediakan sebuah rumah yang indah di surga.
- Barangsiapa membaca surat al-ikhlas 1000 kali tiap hari dengan niat
berdzikir, mencari kemudahan dan rizki, InsyaAllah ia akan memperoleh
rezeki yang cukup dan tidak kekurangan kekurangan.
Begitu besarnya faedah surat al-ikhlas yang hanya 4 ayat ini, kenapa kita tak segera memanfaatkannya?beberapa manfaat pembacaan surat Al Ikhlas : 1. Membaca surat Al Ikhlas dapat membuat hati tenang dan damai. 2. Barangsiapa yang membaca surat Al Ikhlas ia akan memperoleh pahala sebagaimana orang beriman kepada Malaikat, Rosul dan kitab-kitab Allah. 3. Barang siapa membaca Al Ikhlas sebanyak satu kali, pahalanya sama dengan orang yang membaca Al Qur’an sebanyak 10 Juz. Maka jika dibaca tiga kali, maka pahalanya sama dengan orang yang membaca sebanyak 30 Juz. 4. Siapa yang membaca surat al-ikhlas sebelas kali setiap selesai sholat subuh maka dirinya akan dijaga dari perbuatan dosa selama sehari tersebut. 5. Barang siapa membaca surat al-ikhlas sebelas kali akan disediakan sebuah rumah yang indah di syurga. 6. Barang siapa yang membaca surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali setiap hari dengan niat berzikir, mencari kemudahan dan rezeki, InsyaAllah ia akan memperoleh rezeki yang cukup dan tidak kekurangan.beberapa manfaat pembacaan surat Al Ikhlas : 1. Membaca surat Al Ikhlas dapat membuat hati tenang dan damai. 2. Barangsiapa yang membaca surat Al Ikhlas ia akan memperoleh pahala sebagaimana orang beriman kepada Malaikat, Rosul dan kitab-kitab Allah. 3. Barang siapa membaca Al Ikhlas sebanyak satu kali, pahalanya sama dengan orang yang membaca Al Qur’an sebanyak 10 Juz. Maka jika dibaca tiga kali, maka pahalanya sama dengan orang yang membaca sebanyak 30 Juz. 4. Siapa yang membaca surat al-ikhlas sebelas kali setiap selesai sholat subuh maka dirinya akan dijaga dari perbuatan dosa selama sehari tersebut. 5. Barang siapa membaca surat al-ikhlas sebelas kali akan disediakan sebuah rumah yang indah di syurga. 6. Barang siapa yang membaca surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali setiap hari dengan niat berzikir, mencari kemudahan dan rezeki, InsyaAllah ia akan memperoleh rezeki yang cukup dan tidak kekurangan.beberapa manfaat pembacaan surat Al Ikhlas : 1. Membaca surat Al Ikhlas dapat membuat hati tenang dan damai. 2. Barangsiapa yang membaca surat Al Ikhlas ia akan memperoleh pahala sebagaimana orang beriman kepada Malaikat, Rosul dan kitab-kitab Allah. 3. Barang siapa membaca Al Ikhlas sebanyak satu kali, pahalanya sama dengan orang yang membaca Al Qur’an sebanyak 10 Juz. Maka jika dibaca tiga kali, maka pahalanya sama dengan orang yang membaca sebanyak 30 Juz. 4. Siapa yang membaca surat al-ikhlas sebelas kali setiap selesai sholat subuh maka dirinya akan dijaga dari perbuatan dosa selama sehari tersebut. 5. Barang siapa membaca surat al-ikhlas sebelas kali akan disediakan sebuah rumah yang indah di syurga. 6. Barang siapa yang membaca surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali setiap hari dengan niat berzikir, mencari kemudahan dan rezeki, InsyaAllah ia akan memperoleh rezeki yang cukup dan tidak kekurangan.
Senin, 01 Juli 2013
Kamis, 09 Mei 2013
Senin, 08 April 2013
PENGURUS HARIAN PAC RANTING GP ANSOR DESA SEKARPUTIH
PENGURUS HARIAN PAC RANTING GP ANSOR DESA SEKARPUTIH
Susunan Kepengurusan
Pimpinan Anak Cabang Ranting Gerakan Pemuda Ansor
Kecamatan Widodaren KabupatenNgawi
Masa Khidmad 2012/2016
PENGURUS HARIAN
Ketua : ASRORI
Wakil Ketua I : SUPRIYANTO
Wakil Ketua II : IMAM MAKALIK
Wakil Ketua III : PORWADI
Sekretaris : SUSANTO, A.Ma, S.Pd.I, M.Pd.I
Wakil Sekretaris I : NUR KHOLIS,S.Pd
Wakil Sekretaris II : KHOIRUL ANAM, S.Pd
Bendahara : EDI WIDODO
Wakil Bendahara I : MUHAMMAD YUSUF
Wakil Bendahara II : SYAIFUL
Biografi Syeikh Abul Junayd al-Baghdadi
Biografi Syeikh Abul Junayd al-Baghdadi
Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin
‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj
(Junayd al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang
barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga
dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling
terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush
Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang
menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.
Ia menjelaskan teori-teorinya dalam
pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini
masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin
sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang
mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun
297H/910M.
Masa Kecil Junayd al-Baghdadi
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman
spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat
disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia
menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu,
Sarri,” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena
ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima
dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima
oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan
memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,”
kata Junayd.
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya,
lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan
terimalah tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah
begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan
kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu
karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah
begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki
kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka
atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada
orang yang berhak.”
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri.
“Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,”
ujar Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan
menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam
hatinya.
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri
mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh
empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.
“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd.
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak
bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan
kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan
pada-Nya.
“Bagus sekali, benar-benar merupakan
pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu.
Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada
definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd.
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya,
lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.”
Junayd menangis tatkala
mendengan pamannnya berkata begitu.
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi
penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai
toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan
tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana ia
menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”,
sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.
Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni
latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri
dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat
subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.
Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun
berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah
tiba saatnya bagi-Ku untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun
berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?”
Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau
tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan
daripada apa yang engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan
menundukkan kepalanya.
Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga
untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya adalah dosa.”
Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik
“Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya
dan tingkah lakunya dilaporkan kepada Khalifah.
“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang
Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang
tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang
kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli
budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan agar
budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak
wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan
perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan
padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah
dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku,
agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.
Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu
padanya. Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk
membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan
ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang
telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita
itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi
ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak.
“Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke
arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui
Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa
terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan
orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia
lihat.”
Sang Khalifah kemudian bangkit dan
memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak
dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana
engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih
sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin
meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan
penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau
tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd
berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia.
Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat.
Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan,
“Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku
bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk
menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah
genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan
hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah
berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama
sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”
Junayd Berkhotbah
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan
kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah
wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan
hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata
Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu
dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid
pun bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun,
ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih
ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau
harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan
sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau bicara saat para murid
membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad
memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah
mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk
bicara, maka engkau harus bicara.”
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid
“Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”
Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan
Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta
Junayd berkhotbah di atas mimbar’.”
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid
kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh
orang.”
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan
empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan
duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian
diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin
ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa
pemuda itu beragama Nasrani.
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata,
“Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman,
kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus
menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara
khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang
Muslim.
Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali,
masyarakat menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah
dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia
menolak.
“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat
mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar
dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam
apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di
mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu
masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada
mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku
berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku
tidak menentang kata-kata beliau.”
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja
pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar
tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke
rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya
berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya
supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu.
Dan itulah hakmu’.”
Sumber: sufinews.com
BIOGRAFI HIDUP IMAM AL GHOZALI
Biografi Hidup Imam Al Ghazali
Imam Al
Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka
dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah
menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya
masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah
sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya,
hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
Langganan:
Postingan (Atom)